Kebangkrutan Garuda, Antara Arogansi Kekuasaan dan Perilaku Keledai

3 November 2021, 15:16 WIB
Pesawat Garuda Indonesia. /Pixabay/Fariz Priandana

KLIKMATARAM - Perkembangan dari kisruh kebangkrutan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, sepertinya pemerintah akan lebih memilih opsi mempailitkan daripada menyelamatkannya.

Indikasi ini tampak dari pernyataan Arya Sinulingga, Staf Khusus Menteri BUMN dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) dengan topik “Merah Biru Rapor Kabinet Jokowi Makruf” yang ditayangkan melalui kanal Youtube Indonesia Lawyer Club baru–baru ini.

“Sekarang kita masuk dalam tahapan untuk bernegosiasi (dengan pihak yang menyewakan pesawat), kalau mereka nggak mau dinegosiasi ya sudah.. tutup saja. Nggak usah takut dengan sentimental sejarah panjang. Saat ini kita harus rasional,” ujar Sinulingga.

Menurut dia, hal ini sebagai bagian dari penjelasannya tentang langkah–langkah restrukturisasi dan efisiensi yang tengah dijalankan oleh Kementerian BUMN saat ini.

Perihal kemelut kebangkrutan Garuda sendiri menarik mencermati pandangan para pengamat maupun pihak lain yang terkait. Salah satunya adalah Muhammad Said Didu.

Baca Juga: Gurita Bisnis Tes PCR Capai Triliunan, Ini Soal Nyawa, Harusnya Gratis Seperti Vaksinasi

Pengamat kebijakan publik yang juga mantan Sekretaris Kementerian BUMN ini bisa disebut sebagai pelaku sejarah yang pernah terlibat langsung dengan perjalanan kebangkitan maupun keruntuhan BUMN, termasuk Garuda.

Dalam akun twitternya Said Didu menjelaskan bahwa pada tahun 2004 Garuda Indonesia sudah hampir bangkrut. Permasalahan utama yang sama dengan kondisi saat ini, yaitu beban sewa pesawat yang demikian besar.

Kemudian pada 2005 Garuda Indonesia tidak bisa lagi terbang ke luar negeri lantaran pesawat akan ditahan oleh lessor.

Baca Juga: Gus Yaqut ke Deddy Corbuzier: Ummat Cepat Marah Akibat Belajar Sedikit Sudah Merasa Benar

Untuk mengatasinya, pada tahun 2005 pemerintah menggelontorkan PMN (Penyertaan Modal Negara) sebesar Rp1 triliun, dan kantornya dibeli oleh Kementerian BUMN senilai Rp450 miliar.

“Setelah itu kondisinya membaik dan terus sehat. Bahkan, labanya melonjak. Saya salah seorang pelaku sejarah tersebut,” ujar Said Didu pada akun twitternya yang dilansir pikiran-rakyat.com, Minggu 30 Oktober 2021.

Pada Mei 2021, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyebut beban utang Garuda adalah sebesar Rp70 triliun. Seiring penundaan pembayarannya, maka setiap bulan utang itu akan bertambah sebesar Rp1 triliun. Sehingga bisa dihitung saat ini beban utang Garuda adalah sebesar Rp75 triliun.

Baca Juga: Pesinetron Hana Kirana Meninggal Dunia, Pesan Terakhirnya Mengiris Hati

Selain utang bahan bakar pada PT Pertamina dan pemasok yang lain, bagian utang terbesar adalah kepada pihak lessor (penyewa pesawat) dengan harga sewa pesawat yang konon paling mahal dibandingkan dengan harga sewa yang diterima oleh maskapai lain di dunia.

Berdasarkan paparan Said Didu, maka bisa dipahami bahwa apa yang dihadapi oleh Garuda saat ini merupakan pengulangan kondisi yang pernah terjadi. Kondisi kesulitan pada kurun waktu 15 tahun lalu yang sudah cukup berhasil diperbaiki. Tapi ternyata terulang lagi pada tahun–tahun belakangan ini.

Sementara itu, Rizal Ramli, ekonom senior yang sempat menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumberdaya Manusia pada tahun 2015–2016 mengatakan pada bahwa sejak tahun 2015 dirinya telah meramalkan kondisi karut-marut Garuda yang pada saatnya pasti akan meledak.

Baca Juga: Petani Hebat, Lahan Kering Diberi Popok Bayi Bekas Jadilah Kebun Jeruk

Dalam percakapan dengan Karni Ilyas pada kanal Youtube Karni Ilyas Club sebagaimana dikutip pikiran-rakyat.com pada Minggu 13 Oktober 2021, tokoh yang juga mantan Menko Ekuin pada tahun 2000–2001 ini mengungkapkan sebelum diangkat sebagai Menko pada tahun 2015 dia sudah menjelaskan kepada Presiden Jokowi, salah satu masalah penting yang harus dibenahi adalah Garuda Indonesia.

Kepada Jokowi, Rizal Ramli jelaskan bahwa keputusan Garuda untuk membeli atau menyewa pesawat sekelas Boeing 777 untuk melayani penerbangan langsung jarak jauh ke Eropa atau ke Timur Tengah adalah keputusan yang keliru.

Garuda tidak mungkin mampu bersaing dengan maskapai dari negara–negara Timur Tengah.

“Karena Arab kantongnya tebal. Harganya diturunin, solarnya disubsidi. Singapore Airline aja rontok, apalagi kita,” ucapnya.

Tetapi untuk penerbangan jarak sedang dan jarak dekat Garuda sangat mungkin untuk bersaing dan menjadi pemenangnya.

“Tapi kita harus bisa jadi jagoan di Asia, kita kalau lawan Japan Airline kita menang, servisnya bagus, harganya murah. Lawan Australia kita menang, lawan Malaysia,” lanjutnya.

Oleh karena itu, seharusnya strategi Garuda Indonesia selama 10 tahun ini adalah fokus menjadi raja di Asia dulu, maka dapat dipastikan menang.

Karena pernyataannya itu, dia pun mengaku dihabisi oleh media, dan disebut sok tahu, bukan bidangnya, hingga tak mengerti apa-apa.

Baca Juga: Hilangkan Stres dengan Jalan-jalan dan Ngadem di Air Terjun Aik Kelep

Pada kenyataannya memang pihak Garuda tidak hirau dengan pernyataan–pernyataannya. Bahkan ternyata hanya satu tahun menjabat sebagai Menko Maritim dan Sumberdaya Manusia tokoh yang selalu vokal dengan kritik tajamnya inipun terpental dari kedudukannya.

Senada dengan Rizal Ramli, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada tahun 2019 juga pernah mengingatkan bahwa maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah dalam kondisi 'morat-marit'.

Berdasarkan data dari Bloomberg, Garuda Indonesia baru bisa mendapatkan keuntungan jika penumpangnya mencapai 120 persen. Karenanya, Garuda Indonesia tidak bisa meraih keuntungan jika pengelolaannya masih dilakukan dengan cara yang sama.

Pada saat itu, pernyataan Prabowo Subianto mendapatkan bantahan tegas dari Direktur Utama Garuda Indonesia hingga pihak Kementerian BUMN.

Akan tetapi, saat ini ucapan mantan pesaing Jokowi pada Pilpres 2019 tersebut tampak seperti ramalan yang menjadi kenyataan.

“Kalau belum kejadian orang suka nggak percaya, he..he..,” kata admin twitter @Gerindra sebagaimana dikutip pikiran-rakyat.com pada Selasa 2 November 2021.

Baca Juga: Yang Hobi Makan Durian Wajib Baca Ini, 6 Cara Mengatasi Mabuk Akibat Si Raja Buah

Menilik sikap yang ditunjukkan pihak Garuda baik ketika menanggapi apa yang disampaikan oleh Prabowo maupun Rizal Ramli bisa dilihat adanya sikap ego dan bahkan arogansi yang tidak mau mendengarkan dan cenderung mengabaikan pendapat pihak lain.

Sementara berdasarkan penjelasan Muhammad Said Didu bahwa kondisi persis sama ini yang pernah terjadi beberapa tahun silam, mengingatkan pada petuah orang–orang bijak zaman dahulu, hanya keledai yang bisa terperosok dua kali di lubang sama.

Kekuatan yang selalu mengambil keuntungan tanpa peduli masalah dan kerugian yang ditinggalkannya.***

Editor: Dani Prawira

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler