Orang-orang yang diberi kitab suci (Ahlul Kitab) dipahami oleh umumnya ulama sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani.
sedang menurut K.H Ahmad Zahro tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani saja melainkan semua orang beragama yang mempunyai kitab suci (versi mereka),Jika wanita Yahudi dan Nasrani boleh dinikahi oleh pria muslim, padahal mereka juga musyrikah (mempersekutukan Allah) dan kitab suci mercka juga sudah tidak suci lagi akibat campur tangan manusia, maka wanita dari agama selain Yahudi dan Nasrani juga boleh dinikahi asal agama mereka mempunyai kitab suci, seperti Hindu dan Budha.
Lain halnya dengan wanita atheis (tak bertuhan), maka ini tidak boleh dinikahi oleh pria muslim.
Hal ini didasarkan pda qiyas aulawi (analogi prioritas) dengan wanita musyrik bangsa Arab, sama-sama tidak punya kitab suci dan bahkan tak bertuhan.
- Wanita muslimah haram nikah dengan pria nonmuslim.
Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt. (yang maknanya): Dan janganlah kamu menikahkan pria-pria musyrik (dengan wanita-wanita beriman) sampai mereka beriman. Sungguh pria budak yang beriman itu lebih baik daripada pria musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (al-Baqarah: 221).
Para ulama kompak sepakat memahami ayat ini bahwa wanita muslimah haram hukumnya nikah dengan pria nonmuslim mana pun juga, termasuk yang beragama Yahudi maupun Nasrani (Katholik atau Protestan).
Di antara pertimbangan haram mutlaknya wanita muslimah nikah dengan pria nonmuslim adalah:
a. Tidak ada ayat lain yang dapat dipahami sebagai pengecualian, seperti al-Maidah ayat 5 yang “mengecualikan” wanita Ahli Kitab.
b. Dalam Islam, nasab/garis keturunan itu mengacu pada pria/ suami.
Artikel Rekomendasi