Kita Cuma Berjuang, Hasil Urusan Tuhan

- 6 November 2021, 02:02 WIB
Ilustrasi trotoar jalanan kota.
Ilustrasi trotoar jalanan kota. /pexels.com/Josh Hild/

Sepertinya perempuan muda itu dengan gaya dan kemampuannya telah dibayar untuk beberapa jam menjajakan berbagai model hape di toko itu. Penuh semangat dia jalani, walaupun lebih satu jam itu tidak satupun orang menanggapinya.

Mungkin itu yang disebut kerja profesional. Sudah bekerja sesuai deskripsi, sesuai tupoksi. Soal lainnya tak perlu terlalu dipikir. Mungkin saja memang orang sedang tak punya uang, atau hape lama masih bisa mengirim Whatsapp.

Di bagian jalan yang lain, sekitar 400 meter dari toko hape itu, seorang laki-laki tua duduk mencangkung di atas trotoar jalan. Dengan baju dan kain sarung lusuh yang melilit menyilang. Selembar handuk kecil yang sedikit kotor tersampir di pundaknya.

Beberapa batang sapu ijuk yang masih terikat rapi teronggok di sampingnya. Saya berhenti dan coba mengajaknya berbincang.

Pak Saad namanya. Usia memasuki kepala enam. Tinggal di Desa Gegerung, sekitar 8 km arah timur laut Kota Mataram.

Sejak jam 10 pagi keluar rumah, berkeliling kota menjajakan sapu ijuk. Sampai jam 9 lewat malam itu, barulah satu batang sapu ijuknya yang dibeli orang dengan harga Rp 12 ribu.

Sapu ijuk itu bukan dia sendiri yang membuat tapi tetangga di kampungnya. Untuk satu batang yang sudah terjual dia mendapat keuntungan Rp 3.000.

Di tengah obrolan dengan saya, sebuah mobil Kijang Innova berhenti. Seorang perempuan setengah baya turun dan mengulurkan selembar uang 5 ribuan. Itu bukan harga sebiji sapu ijuk. Tampak perempuan itu bermaksud memberi uang begitu saja.

Beberapa menit kemudian seorang laki-laki muda mengehntikan sepeda motornya. Menghampiri, dan memberikan beberapa lembar uang seribuan plus sebungkus nasi.

“Terima kasih banyak Pak,” kata Pak Saad. Matanya sedikit berbinar.

Halaman:

Editor: Muhammad F Hafiz


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x