Saleh Sungkar Si Besar di Sunda Kecil dalam Drama Pembunuhan Keji yang Tak Terungkap di Lombok

- 1 Desember 2021, 12:09 WIB
Pergolakan politik periode 1949-1950 saat Saleh Sungkar menjadi tokoh politik populis di Lombok.
Pergolakan politik periode 1949-1950 saat Saleh Sungkar menjadi tokoh politik populis di Lombok. /menaracenter.org/Klik Mataram/

KLIKMATARAM – Nama Saleh Sungkar di Lombok dikenal luas sejak 1945 hingga kematiannya pada 1952.

Dia meninggal akibat pembunuhan politik pada 11 Maret 1952, saat Saleh Sungkar menjabat Ketua DPRD Daerah Lombok.

Namanya kemudian diabadikan menjadi nama jalan di Ampenan, Jalan Saleh Sungkar.

Ampenan adalah sebuah kota di Lombok yang menjadi pusat dinamika penduduk pulau ini, tempat di mana Saleh Sungkar dilahirkan pada 1920.

Saleh Sungkar mengalami masa keemasan di Lombok saat negeri ini berada dalam situasi pergulatan politik keras yang menyebabkan ketidaksatbilan.

Dimulai sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945. Kemudian kembalinya Belanda menduduki Indonesia lewat agresi militer 1949, hingga pemberlakuan beragam konstitusi yang menyebabkan situasi tak menentu selama periode 1949-1955.

Baca Juga: Jadi Nama Jalan Penting di Lombok Siapa Sebenarnya Saleh Sungkar

Saleh Sungkar lahir dari keluarga terpandang dalam komunitas istimewa orang Arab di Lombok. Ayahnya adalah Kapiten Arab di Ampenan, Syeikh Ahmad bin Abdullah Sungkar.

Saleh Sungkar atau Saleh bin Ahmad Abdullah Sungkar, dengan mudah menyelesaikan sekolah HIS di Mataram Lombok saat ribuan teman sebayanya tak bersekolah.

Sebagai keluarga terpandang dan berada, dia dikirim ke Solo Jawa Tengah untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, yakni MULO Solo dan juga Taman Madya di Yogyakarta.

Masa sekolah itulah membangun karakter Saleh Sungkar yang di masa depan nanti membuat dia menjadi seorang aktor pergerakan di Lombok.

Kisahnya dimulai sejak Indonesia merdeka 1945 yang di tahun itu pula Saleh Sungkar muda kembali ke kampung halamannya di Ampenan.

Di Lombok, dia segera membentuk Persatuan Arab Indonesia (PAI) dan memimpin pergerakan nasional melalui PAI di Lombok.

Bersama dua kawannya tokoh keturunan Arab yang berasal dari Jawa, Sayed Al Jufry dan Sayed Umar Mulahela, Saleh Sungkar berada di titik pergolakan perjuangan saat pendudukan kembali Belanda.

Tentara sekutu, termasuk di dalamnya Belanda, sebagai pemenang Perang Dunia II (PD II), mendarat di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Lombok.

Di Lombok, Belanda mendarat di Ampenan pada 30 November 1945. Kemudian menyusul kedua kalinya, mendarat pada 18 Maret 1946, juga di Ampenan untuk mengevakuasi serdadu Jepang yang kalah perang.

Pada 27 Maret 1946, pasukan Belanda lainnya mendarat lagi di Lembar dan mendapat perlawanan dari Badan Kemanan Rakyat (BKR) di Lombok meski berhasil dipatahkan.

Di mana Saleh Sungkar ikut membentuk BKR di daerah ini.

Baca Juga: Karomah TGB Zainul Majdi Menjalar ke Bali, Ini Kesaksian Laksana Permata

Penguasaan kembali Belanda di tahun-tahun selanjutnya membuat negeri ini menjadi terbagi-bagi ke dalam negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat (RIS).

Di Lombok, dimulailah perjuangan Saleh Sungkar yang menolak RIS dengan perlawanan kepada pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) yang menjadi bagian RIS.

Saleh Sungkar pernah bertemu Bung Karno di Surabaya dalam satu pertemuan pemuda pergerakan. Saat itu, kelompok-kelompok atau persatuan berbau primordial itu dilebur Bung Karno menjadi gerakan nasionalis kebangsaan.

Saleh Sungkar seorang keturunan Arab sudah menyadari negeri ini hanya bisa dibangun melalui negara kesatuan, NKRI. Dalam menjalankan keyakinannya itu Saleh Sungkar memilih bergerak melalui partai politik.

Mulai dari PAI, kemudian bersama Maulana Syekh TGKH Zainuddin Abdul Madjid mendirikan Persatuan Ummat Islam Lombok (PUIL).

Lantas menjadi tokoh Partai Masyumi berpengaruh di Lombok yang mengantarkannya nanti menjadi Ketua DPRD Daerah Lombok di masa NIT hingga pemberlakuan UUDS 1950.

Saleh Sungkar dikenal sebagai politisi populis dalam Partai Masyumi. Keberaniannya untuk menyuarakan kepentingan rakyat kecil yang tertindas, membuatnya jadi korban kelompok masyarakat di Lombok yang tak menyukai perjuangannya.

Dia diculik dan terbunuh jauh di luar Kota Ampenan.

Periode sebelum akhirnya dia terbunuh pada 1952, Saleh Sungkar menjadi bagian penting dalam Provinsi Sunda Kecil di masa pemerintahan RIS.

Lebih-lebih Ampenan sebagai kota pelabuhan, termasuk kota penting dalam Negara Indonesia Timur bentukan Belanda.

Dari banyak catatatan, disebutkan bahwa sejak dahulu hampir semua pelabuhan di Kepulauan Sunda Kecil populer di abad ke-19. Sunda Kecil menjadi pusat pelabuhan tak hanya di wilayah timur Indonesia, tapi se nusantara.

Baca Juga: MotoGP Harus Jadi Pemicu Kebangkitan Pariwisata NTB di Tahun 2022 yang Sempat Terpuruk Akibat Pandemi Covid-19

Sunda Kecil adalah istilah untuk menyebut gugus pulau yang membentang dari Bali hingga Pulau Timor.

Kawasan ini sejak abad ke 16 populer sebagai penyedia kayu cendana kualitas nomor satu. Begitu pula dengan hasil pertanian. 

Pelabuhan-pelabuhan seperti Ampenan, Bima, Sekotong, Pelabuhan Haji menjadi lokasi singgah dan bongkar muat kapal-kapal asing. Kondisi lautnya yang dalam memungkinkan kapal-kapal besar singgah.

Persinggahan kapal-kapal di wilayah ini membawa orang dari berbagai etnis mendatangi Sunda Kecil. Hingga kini, kelompok-kelompk seperi Bugis, Jawa, Cina, Arab, Buton, bahkan Melayu, ada di kawasan ini.

Masa surut pelabuhan Sunda Kecil berbarengan dengan makin kuatnya cengkeraman Belanda. Masyarakat lokal terpinggirkan, dan pelabuhan dikuasai kongsi-kongsi Belanda.

Saat itu perlawanan mulai muncul.

Di masa akhir perlawanan itulah Saleh Sungkar berkibar. Hingga akhirnya terbunuh dalam sebuah pembunuhan politik keji berdarah-darah.

Bagaimana sepak terjang Saleh Sungkar di periode 1949 hingga dia terbunuh pada 1952, nantikan di terbitan selanjutnya.***

Editor: Muhammad F Hafiz


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkini