Bagaimana Hukum Nikah Beda Agama di Indonesia? Begini Penjelasan KH Ahmad Zahro Lengkap

29 April 2022, 21:49 WIB
Ilustrasi pernikahan /@kdramatreats/Twitter

KLIKMATARAM – K.H Ahmad Zahro membahas pertanyaan bagaimana hukum nikah beda agama di Indonesia?

Dibaah ini adalah rangkuman jawaban pertanyaan bagaimana hukum nikah beda agama di Indonesia menurut pandanagna K.H Ahmad Zahro?

pembahasan  pandangan K.H Ahmad Zahro tentang bagaimana hukum nikah beda agama di Indonesia?, dibawah ini dikutip dari kitab fIqih Kontemporer karya K.H Ahmad Zahro. berikut penjelasannya.

Pernikahan dalam Islam merupakan ibadah sosial yang berdimensi ritual dan sakral. Islam mengatur masalah pernikahan ini secara khusus dan amat detail, sampai-sampai dalam fiqih menjadi kategori tersendiri, yakni Fiqih Munakahat (fiqih tentang pernikahan).

Baca Juga: Apakah Boleh Memakai Lipstik Saat Sholat? Bagaimana Hukum Berdandan Saat Sholat, Simak Penjelasan Berikut Ini

Nikah beda agama termasuk isu yang hangat-hangat tahi ayam, dalam arti sebenarnya masalah ini sudah amat klasik dibahas dalam kitab-kitab fiqih, tetapi akan menjadi hangat jika ada pernikahan beda agama yang dilakukan oleh figur publik, artis, atau tokoh tertentu.

Hal ini juga sudah terjadi berkali-kali, tetapi tetap saja menjadi perhatian publik karena yang melakukannya adalah figur publik.

Dalam fiqih munakahat, masalah nikah beda agama ini setidaknya dibagi dalam dua kategori:

Baca Juga: Hati-Hati Bukan Hanya Selingkuh Ini Dosa Besar Suami Kepada Istri Kata Kata Gus Baha

  1. Pria muslim boleh menikah dengan wanita nonmuslim.

Memang mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita nonmuslim selain Yahudi dan Nasrani, haram dinikahi oleh pria muslim, seperti wanita Hindu, Buddha, Konghucu, dan lain-lain.

Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt. (yang maknanya): Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sampai mereka beriman. Sungguh wanita budak yang beriman itu lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu (Al-Baqarah: 221).

Hanya saja di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai siapa wanita musyrik (musyrikah) yang haram dinikahi itu.

Ibnu Jarir at-Thabari dan Syekh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud musyrikah dalam ayat ini hanyalah wanita musyrik dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada saat turunnya Al-Ouran tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala.

Baca Juga: Para Pelopor Metode Hisab di Indonesia, Ada Generasi Baru Ilmuwan Muhammadiyah

Jadi, wanita Cina, India, Jepang, Thailand, dan lain-lain boleh dinikahi oleh pria muslim.

Menurut K.H Ahmad Zahro berpendapat lebih cenderung pada pendapat kedua ini bahwa pria muslim boleh nikah dengan wanita nonmuslim mana saja, selain wanita musyrik bangsa Arab (yang sekarang sudah tidak ada lagi).

Hal ini didasarkan atas pertimbangan maslahah, mengingat hubungan global saat ini potensial terjadinya hubungan antara pria muslim dengan wanita nonmuslim di mana saja di dunia ini, sedangkan ayat yang diyakini melarang (Al-Baqarah: 221) masih dapat ditafsirkan.

Apalagi berdasarkan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 5 ditegaskan: Dan dihalalkan (bagimu) menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, juga (dihalalkan bagimu menikahi) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu.

Baca Juga: Teaser Baru Woori The Virgin Tampilkan Pasangan Sung Hoon dan Hong Ji Yoon dengan Pernikahan yang Retak

Orang-orang yang diberi kitab suci (Ahlul Kitab) dipahami oleh umumnya ulama sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani.

sedang menurut K.H Ahmad Zahro tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani saja melainkan semua orang beragama yang mempunyai kitab suci (versi mereka),Jika wanita Yahudi dan Nasrani boleh dinikahi oleh pria muslim, padahal mereka juga musyrikah (mempersekutukan Allah) dan kitab suci mercka juga sudah tidak suci lagi akibat campur tangan manusia, maka wanita dari agama selain Yahudi dan Nasrani juga boleh dinikahi asal agama mereka mempunyai kitab suci, seperti Hindu dan Budha.

Lain halnya dengan wanita atheis (tak bertuhan), maka ini tidak boleh dinikahi oleh pria muslim.

Hal ini didasarkan pda qiyas aulawi (analogi prioritas) dengan wanita musyrik bangsa Arab, sama-sama tidak punya kitab suci dan bahkan tak bertuhan.

Baca Juga: Apakah Boleh Memakai Lipstik Saat Sholat? Bagaimana Hukum Berdandan Saat Sholat, Simak Penjelasan Berikut Ini

  1. Wanita muslimah haram nikah dengan pria nonmuslim.

Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt. (yang maknanya): Dan janganlah kamu menikahkan pria-pria musyrik (dengan wanita-wanita beriman) sampai mereka beriman. Sungguh pria budak yang beriman itu lebih baik daripada pria musyrik, walaupun dia menarik hatimu. (al-Baqarah: 221).

Para ulama kompak sepakat memahami ayat ini bahwa wanita muslimah haram hukumnya nikah dengan pria nonmuslim mana pun juga, termasuk yang beragama Yahudi maupun Nasrani (Katholik atau Protestan).

Di antara pertimbangan haram mutlaknya wanita muslimah nikah dengan pria nonmuslim adalah:

a. Tidak ada ayat lain yang dapat dipahami sebagai pengecualian, seperti al-Maidah ayat 5 yang “mengecualikan” wanita Ahli Kitab.

b. Dalam Islam, nasab/garis keturunan itu mengacu pada pria/ suami.

Baca Juga: Ternyata Istri Juga Bisa Menceraikan Suami, Bagaimana Hukum Gugat Cerai Suami Karena Berpoligami

Akan menjadi masalah psikologis-sosiologis jika ayah nonmuslim mempunyai anak perempuan Islam, karena dia tidak berhak menjadi wali untuk anak perempuannya (walaupun secara fiqih hal ini dapat diatasi dengan wali hakim).

c. Dalam rumah tangga Islam, suami itu ditetapkan sebagai pemimpin bagi seluruh anggota keluarganya (istri dan anak-anak), sedang pemimpin itu harus ditaati.

Bagaimana jadinya jika sang pemimpin selalu melakukan atau mengarahkan kepada hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka pasti buruklah akibatnya.

Sekadar contoh kecil, bagaimana kalau sang pemimpin ini (suami/ayah) selalu mengonsumsi daging babi dan untuk itu dia selalu minta disiapkan, tentu amat merepotkan istri atau anak-anak mereka.

d. Sampai sekarang tak seorang ulama pun (termasuk Ibnu Jarir at-TIhabari dan Syekh Muhammad Abduh) yang berpendapat bahwa yang dimaksud pria musyrik itu hanyalah yang berasal dari bangsa Arab saja, karena memang tidak cukup indikator untuk dapat dipahami demikian.

Baca Juga: Bagaimana Hukum Bunga Bank Dan  Membayar Zakat Fitrah Dari Bunga Bank Menurut Islam?

Oleh karena itu, pernikahan antara wanita muslimah dengan pria nonmuslim hukumnya tidak sah dan haram.

Karena tidak sah, maka status hukumnya sama dengan “kumpul kebo” dan persetubuhan mereka berstatus zina.

Memang pernah ada seorang pakar yang berani mengakadnikahkan pria nonmuslim dengan wanita muslimah, tapi saya tahu betul bahwa pakar tersebut bukakanlah ahli fiqih, padahal pernikahan adalah wilayah/ ranah fiqih.

Apa dibenarkan oleh akal sehat seorang insinyur perkapalan mengobati orang sakit tipus, misalnya, dengan alasan karena sudah banyak membaca buku-buku tentang penyakit tipus.

Jadi, sepakar apapun, kalau bukan ahli di bidangnya, tentu akan ditertawakan atau bahkan bisa dituntut, jika coba-coba menangani hal-hal di luar bidangnya.

Dalam hadis sahih dinyatakan: “Apabila suatu persoalan di serahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggu saja saat kehancura nnya” (AR. al-Bukhari).***

Editor: Muhammad F Hafiz

Tags

Terkini

Terpopuler