Ironisme Amaq Raya, Sang Maestro Tari Kreasi dari Lombok

- 13 Oktober 2021, 21:36 WIB
Amaq Raya
Amaq Raya /KlikMataram
 
 
oleh Aini Ahmad
 
KLIKMATARAM - Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis tentang maestro yang satu ini. Namun karena berbagai urusan yang menyita waktu membuat rencana ini terbengkalai.

Semua bermula ketika admin Lombok Heritage Society mengirimkan pada saya arsip katalog serta video sebuah pementasan bertajuk “Maestro! Maestro!” di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 17-18 Desember 2013 silam. Acara yang dihelat oleh Dewan Kesenian Jakarta ini menampilkan tiga orang empu tari tradisional Indonesia yang mementaskan buah karya mereka sendiri.

Mereka adalah Syamsuar Sutan Marajo (65 tahun), Irawati Durban Ardjo (70 tahun) dan Amaq Raya (80 tahun). Nama yang terakhir ini tentu akrab di telinga mereka yang gemar memperhatikan kesenian tradisional di Lombok, dan beliau menampilkan Tari Gagak Mandiq yang diciptakan pada tahun 1956.

Ya. Amaq Raya sudah menciptakan tarian–yang kemudian lebih dikenal sebagai dasar pengembangan tari kreasi baru di Lombok–pada tahun 1956. Ketika hampir sebagian besar diantara kita belum lahir ke dunia ini.

Saya sendiri sudah mendengar nama Amaq Raya beserta kiprah serta ironi kehidupannya sejak bersentuhan dengan beberapa maestro seni lainnya. Semua peduli dengan nasib Amaq Raya yang menurut informasi terakhir mereka dengar memang kurang beruntung nasibnya.

Bayangkan saja, ketika gamelannya rusak dan tak bisa pentas, untuk menyambung hidupnya Amaq Raya menjadi pengumpul ranting kayu di pinggiran dusunnya. Demikian pula ia pernah menyambung hidup dengan menjadi pembuat batu bata, dengan upah 25 ribu rupiah untuk setiap 1000 biji batu bata mentah.

Hasil pentas di berbagai pelosok desa pun pun kurang mencukupi. Tengok saja, sekali melakukan pementasan gandrung bayarannya sekitar 150 ribu rupiah dan itupun harus dibagi enam anggota kelompok.

Berangkat dari keprihatinan itulah saya ingin mengangkat kisah Amaq Raya, agar lebih mendapat perhatian. Terutama dari para pemangku kepentingan.

Mengingat jarak yang begitu jauh, sebenarnya saya ingin mewawancari beliau melalui telephone. Namun setelah saya konsultasikan ke admin Lombok Hiritage Society (LHS), gagasan ini ditolak.

Alasannya, standar di LHS tidak menerima model armchair researcher, yang hanya duduk di meja mengolah dan meramu ulang hasil tulisan atau penelitian orang lain. Jadi kami dituntut harus terjun ke lapangan, bertemu langsung dengan nara sumbernya, kecuali jika memang tak mungkin untuk dijangkau.

Tak ada pilihan lain, akhirnya kami, dua orang wanita, rela berkendara sepeda motor dari Mataram–Lenek pp untuk menggali data dari sang maestro.

Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami beruntung tiba pada rumah yang dituju tanpa tersesat, di Dusun Dasan Baru, Desa Lenek Daya, Lombok Timur. Tapi kami masih berharap keberuntungan berikutnya. Sebab, kami tidak ada janji sebelumnya untuk bertemu. Jadi kami hanya sekedar bergantung pada nasib baik saja, bahwa sang maestro ada di rumah.

Benar. Kami dinaungi nasib baik.  Beliau ada di rumah dan kami langsung disambut diajak duduk di berugak di halaman rumahnya.

Kesan pertama saya, orangnya begitu energik dan penuh kelakar di usianya yang telah mencapai 88 tahun. Penampilannya menghapus segala bayangan yang tergambar sebelumnya. Dalam sekejap suanana menjadi hidup dan cerita mengalir meliuk-liuk dari Amaq Raya.

Ia begitu impresif. Tak hanya bibirnya yang bertutur namun gerak tubuhnya pun turut bercerita. Mendengar Amaq Raya berkisah, bagaikan menyaksikan sebuah rehearsal pertunjukan teater. Tak hanya dalam tarian, dalam penuturan pun ia menunjukkan energi wiraga dan wirasa yang paripurna.

Nama populernya memang Amaq Raya, karena anak pertamanya bernama Raya. Namun nama asli sebenarnya adalah Saleh.

Amaq Raya alias Loq Saleh ini dilahirkan di Desa Lenek, Kabupaten Lombok Timur, pada era kolonial Belanda. Bakat seninya mengalir dari sang ayah yang juga merupakan seniman kondang di desanya. Desa Lenek memang terkenal sebagai desa kesenian, tempat bermuaranya para seniman tradisi, seperti Amaq Tahim misalnya, yang mengasah bakat alam yang dimiliki Saleh kecil.

Tempaan aura kesenian Desa Lenek membuat Saleh muda tumbuh menjadi seniman serba bisa. Ia aktif terlibat dan menghidupi berbagai kesenian tradisi, seperti wayang, teater Cupak Gerantang, tari Gandrung hingga gamelan.

Keahliannya memainkan beragam instrumen musik tradisi tak perlu dipertanyakan lagi. Ia pun pandai membaca lontar monyeh beraksara Kawi dalam tradisi kesenian Cepung.

Tak sampai disitu, ia juga aktif mencipta tari kreasi dan gending. Bahkan saat tengah bercerita pun ia kerap melantunkan gending atau memperagakan tariannya. Gagak Mandiq misalnya.

Lengannya diangkat ke atas membentuk sayap, badannya bergerak meliuk-liuk mengibaratkan gagak yang tengah terbang dan menungkik hinggap di tepi sungai. Lalu kepala dan badannya direndahkan dengan gesit seolah menyelam dengan cepat dalam air. Lantas menggetarkan seluruh badannya seakan mengibaskan air yang tersisa dari tubuhnya.  

Semua gerak diperagakan dengan nyaris sempurna dan sungguh-sungguh. Seakan ia tengah berada pada sebuah amphiteater yang sarat penonton.

Sebagai seorang seniman tulen yang total berkesenian, ia tak pernah menentukan bayaran ataupun menolak pentas. Dari kota metropolitan hingga dusun kumuh. Dari gedung mewah hingga panggung beralaskan tanah. Semua dilakoninya atas nama kesenian dan penuh kegembiraan.

Totalitasnya ini begitu kental terasa dalam setiap karyanya, seperti tari Pidata, tari Pakon, tari Kembang Jagung, gending Semar Geger, gending Pemban Selaparang dan lain sebagainya. Tak hanya raga, namun jiwanya ikut bergerak dan bersenandung dalam karya-karyanya.

Paduan gerak raga (wiraga) dan gerak jiwa (wirasa) menjadi  roh dan kekuatan karyanya. Oleh sebab itu tak semua penari dapat menarikan tariannya. bisa meniru wiraganya, namun tak mampu menghidupkan wirasanya. Keduanya adalah energi yang membuat hidup dari sebuah tarian.

Tak keliru memang jika ia disebut sebagai seorang maestro. Jika institusi sekelas Dewan Kesenian Jakarta saja telah menobatkan Amaq Raya sebagai seorang maestro, tentu kita pun mengangguk setuju.

Curriculum Vitae-nya begitu lengkap. Ia kerap diundang tampil mengisi acara-acara kenegaraan seperti tampil di hadapan Presiden Soekarno saat berkunjung di Lombok maupun di Bali. Demikian pula di era Presiden Soeharto, Amaq Raya juga tampil di Istana Merdeka.

Tak hanya di dalam negeri, ia pun melanglang buana. Pada tahun 1988 Amaq Raya diundang pentas di tiga propinsi di Jepang, yaitu Tokyo, Kagawa dan Omea.

Ironisnya, nama besar sebagai seniman tradisi yang dimilikinya, yang telah dikenal di dalam dan di luar negeri, demikian pula berbagai sertifikat penghargaan yang diterimanya,  tak berbanding lurus dengan kehidupannya. Ekonominya belum mencukupi. Apalagi di usia tuanya ia kerap sakit-sakitan. 

Kiprah berkeseniannya kini mulai di teruskan oleh anak-anaknya. Putrinya yang bernama Ayuningsih juga sudah tampil di Istana Merdeka pada tahun 1990. Namun sebagaimana kehidupan ekonomi ayahnya, Ayuningsih terpaksa mengadu nasib sebagai TKW ke Arab Saudi.

Nama besar di kesenian tradisi memang tak menjamin kesejahteraan yang mencukupi. Beruntung pemerintah pusat kini telah mulai memberi perhatian.

Untuk menghargai jasa para maestro seni tradisi, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, pemerintah pusat memberikan tunjangan sebesar Rp. 25 juta per tahun yang berlaku seumur hidup. Insentif ini diberi sebagai apresasi dan penghargaan atas karyanya serta atas kontribusinya melestarikan seni tradisi.

Tugas kita kini adalah mengusulkan lebih banyak lagi nama untuk ditetapkan sebagai Maestro Seni Tradisi, agar mendapat tunjangan dari pemerintah pusat. Sebab, masih banyak seniman tradisi yang hidupnya terlunta-lunta, membutuhkan uluran tangan.

Semoga pemerintah daerah juga terlecut dan tidak mau kalah dengan perhatian yang diberikan pemerintah pusat. Sebab, para seniman tradisi inilah yang menjaga dan melestarikan warisan budaya, sekaligus juga mengibarkan nama daerah di pentas nasional maupun panggung internasional.***

 
Aini Ahmad adalah periset di Lombok Heritage Society (LHS).
 

 
 
 

Editor: Hariyanto

Sumber: Aini Ahmad


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkini

x