Kita Cuma Berjuang, Hasil Urusan Tuhan

6 November 2021, 02:02 WIB
Ilustrasi trotoar jalanan kota. /pexels.com/Josh Hild/

Oleh Bambang Parmadi

Kamis malam menjelang jam 8, seorang perempuan belia dengan dandanan modis khas anak muda memekik di seberang jalan. Suaranya yang nyaring semakin membahana, memantul lewat pelantang yang terhubung ke mikrofon di bibirnya.

Di halaman sebuah toko handphone Jl Airlangga Mataram, perempuan muda itu merayu orang yang lalu-lalang.

“Buat kamu yang doyan musik, hape baru ini menawarkan fitur dan sistem suara yang pasti pas di telinga kamu.”

Dia gadis announcer yang sedang menjalankan perintah bos. Bertugas membuat para pengguna jalan mau mampir dan merogoh kocek untuk gadget yang ditawarkan.

Beberapa saat saya amati, tak satupun yang mendekat. Tapi dia tetap asik dengan pelantangnya. Saya berlalu.

Sekitar 30 menit kemudian saya kembali di jalan itu. Berhenti beberapa jauh dari perempuan announcer, seperti sebelumnya. Orang-orang di jalan masih ramai. Seperti tadi, seperti sebelumnya. Juga seperti barusan tadi saat saya pergi menjauh, beberapa pejalan kaki masih lalu-lalang. Seperti tadi itu.

Tapi, lagi-lagi seperti sebelumnya, seperti tadi itu, tak juga ada yang tersedot oleh nyaring pelantang. Tapi gadis announcer tetap bersemangat, tetap senyum ceria, dan dengan kelincahannya tetap lantang menawarkan jualannya.

Sampai jarum jam di tangan saya menunjuk angka 9, barulah dia setop. Beberapa orang membereskan peralatan. Nampaknya toko itu akan segera tutup.

Sepertinya perempuan muda itu dengan gaya dan kemampuannya telah dibayar untuk beberapa jam menjajakan berbagai model hape di toko itu. Penuh semangat dia jalani, walaupun lebih satu jam itu tidak satupun orang menanggapinya.

Mungkin itu yang disebut kerja profesional. Sudah bekerja sesuai deskripsi, sesuai tupoksi. Soal lainnya tak perlu terlalu dipikir. Mungkin saja memang orang sedang tak punya uang, atau hape lama masih bisa mengirim Whatsapp.

Di bagian jalan yang lain, sekitar 400 meter dari toko hape itu, seorang laki-laki tua duduk mencangkung di atas trotoar jalan. Dengan baju dan kain sarung lusuh yang melilit menyilang. Selembar handuk kecil yang sedikit kotor tersampir di pundaknya.

Beberapa batang sapu ijuk yang masih terikat rapi teronggok di sampingnya. Saya berhenti dan coba mengajaknya berbincang.

Pak Saad namanya. Usia memasuki kepala enam. Tinggal di Desa Gegerung, sekitar 8 km arah timur laut Kota Mataram.

Sejak jam 10 pagi keluar rumah, berkeliling kota menjajakan sapu ijuk. Sampai jam 9 lewat malam itu, barulah satu batang sapu ijuknya yang dibeli orang dengan harga Rp 12 ribu.

Sapu ijuk itu bukan dia sendiri yang membuat tapi tetangga di kampungnya. Untuk satu batang yang sudah terjual dia mendapat keuntungan Rp 3.000.

Di tengah obrolan dengan saya, sebuah mobil Kijang Innova berhenti. Seorang perempuan setengah baya turun dan mengulurkan selembar uang 5 ribuan. Itu bukan harga sebiji sapu ijuk. Tampak perempuan itu bermaksud memberi uang begitu saja.

Beberapa menit kemudian seorang laki-laki muda mengehntikan sepeda motornya. Menghampiri, dan memberikan beberapa lembar uang seribuan plus sebungkus nasi.

“Terima kasih banyak Pak,” kata Pak Saad. Matanya sedikit berbinar.

“Inilah rejeki saya hari ini Pak,” ujar laki-laki tua itu kemudian pada saya.

“Namanya orang jualan, kadang dapat uang kadang juga tidak,” lanjutnya.

Dari nada suaranya tidak saya temukan sedikit pun nada lelah dan keputusasaan. Padahal saya yakin, dia duduk di trotoar itu karena kelelahan setelah berkilo-kilo meter memikul jualan. Yang saya dengar adalah sebuah kepasrahan atas rejeki dari ikhtiarnya hari ini.

Pak Saad dengan kemiskinan dan keluguannya tentu sangat berbeda dengan perempuan muda yang modis dan lincah di depan toko hape. Perempuan itu masih punya banyak peluang untuk berkembang, berubah, dan berlari mengejar mimpi-mimpi.

Sementara bagi Pak Saad hanya berkeliling kota dengan memikul sapu ijuk yang dia tahu untuk mempertahankan hidup.

Tapi ada satu hal yang saya lihat sama di antara kedua orang itu. Keyakinan dan semangat untuk kerja, kerja dan kerja. Soal hasil dan rejeki Tuhan yang atur.***

Editor: Muhammad F Hafiz

Tags

Terkini

Terpopuler