Kemenag Hadiah Bagi NU, Sumpah Pemuda dan Hilangnya Keteladanan Pemimpin

29 Oktober 2021, 12:46 WIB
Twibbon Hari Sumpah Pemuda /twibbonize.com

Oleh: Bambang Parmadi

KLIKMATARAM - Kemarin kita memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-93. Hari di mana kekuatan perjuangan dari berbagai daerah, berbagai suku, berbagai agama, dengan banyak tokoh yang berasal dari beragam latar belakang pendidikan menyatu menjadi sebuah kekuatan perjuangan kebangsaan yang kemudian melahirkan sebuah negara merdeka bernama Indonesia.

Anak–anak sekolah dengan riang gembira berkumpul di halaman sekolah mengikuti upacara untuk memperingati hari bersejarah itu.

Dengan warna-warni berbagai pakaian daerah yang mencerminkan keragaman dalam persatuan dan kebersamaan. Mereka juga meluapkan kegembiraan bisa kembali berkumpul dengan guru dan temannya setelah hampir dua tahun lamanya mereka hanya bertemu wajah di layar komputer dan layar kecil androidnya.

Walaupun tidak ada lagi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) ataupun Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB), mudah-mudahan nilai–nilai kejuangan yang penuh semangat kebersamaan, cinta tanah air dan semangat rela berkorban yang menjadi pendorong lahirnya Sumpah Pemuda dan terus bergelora hingga mampu memerdekakan bangsa ini tetap bisa terwariskan pada semangat dan kegembiraan anak–anak sekolah yang kelak akan menggantikan generasi sekarang melanjutkan pengelolaan negeri ini.   

Akan tetapi di tengah kegembiraan menyaksikan anak–anak sekolah mengikuti upacara peringatan salah satu hari bersejarah bagi bangsa dan negeri ini, ingatan kita belum bisa teralihkan dari kegaduhan beberapa hari belakangan ini.

Sebuah kegaduhan yang tercipta dari ucapan seorang pejabat negara yang sungguh tidak bijak.

Dalam sebuah kesempatan Menteri Agama mengatakan bahwa pembentukan Kementerian (dulu Departemen) Agama adalah hadiah untuk warga Nahdhatul Ulama (NU) karena jasa–jasanya dalam pembentukan Negara Republik Indonesia.

Tak ayal pernyataan yang cukup kontroversial ini langsung menuai tanggapan dari berbagai pihak, dan kehidupan berbangsa di tengah kondisi rakyat yang sebagian besar sedang mengalami tekanan akibat pandemi yang belum tersudahi kembali menjadi gaduh.

Walaupun berbeda konteks maupun orang pengucapnya, jika kita cermati beberapa tahun belakangan ini berkali–kali kita disuguhi dengan perilaku dan ucapan pejabat–pejabat negara ataupun tokoh publik yang terkesan sembrono, serampangan, menonjolkan kelompok tertentu sembari menegasikan kelompok lain, tidak menunjukkan sifat dan sikap kenegarawanan, yang akhirnya memicu perdebatan dan kegaduhan.

Mulai dari Ketua DPR Puan Maharani yang menyebut seolah–olah masyarakat Sumatera Barat belum menerima Pancasila sebagai dasar negara, ucapan Ketua BPIP Profesor Yudian Wahyudi yang mengatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama, pernyataan Menteri Agama sebagaimana di atas, dan banyak lagi pernyataan–pernyataan yang kontroversial semacam itu diucapkan oleh beberapa pejabat negara.

Sekalipun selalu ada klarifikasi setelah kegaduhannya. Tetapi selalu lebih bersifat pembelaan yang tak jarang justru semakin menambah keriuhannya, dan tak pernah ada kemauan untuk meminta maaf sebagai wujud kearifan dan kerendahhatian.

Belum lagi candaan dan seloroh beberapa petinggi negeri ketika wabah Covid-19 melanda beberapa negara dan belum ditemukan kasusnya di Indonesia, ucapan–ucapan yang bisa jadi bagian dari seloroh itu justru menunjukkan cara kerja yang serampangan, tidak mendalami masalah, dan cenderung meremehkan.

Ternyata ketika wabah tersebut benar–benar mulai melanda masyarakat para pejabat tersebut justru terkesan kalang kabut menghadapinya, yang kemudian melahirkan kebijakan–kebijakan yang tidak tepat.

Sementara dalam peri kehidupan pun hampir tidak tampak keteladanan yang bisa diberikan kepada masyarakat dari para pemimpin yang tengah menjalankan amanah kenegaraan itu.

Di tengah kesulitan dan himpitan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian besar rakyat karena efek pandemi yang demikian dahsyat, justru para petinggi itu melaporkan kekayaannya meningkat secara berlipat dalam waktu yang sangat singkat.

Sementara tunjangan hidup yang diterimanya dari negara tidak berkurang sedikitpun, walaupun anggaran dan keuangan negara sedang mengalami “sesak napas”. 

Tidak bisa dipungkiri kalau ini adalah ironi yang sedang terjadi.

Dalam suasana peringatan Sumpah Pemuda sebagai salah satu hari bersejarah dalam rangkaian perjuangan kemerdekaan bangsa ini, kita jadi rindu pada sosok–sosok pendahulu yang pernah memimpin negeri ini.

Sosok–sosok yang teramat sederhana dalam kehidupannya walau jabatan tinggi melekat pada dirinya.

Kesederhanaan yang tidak mengurangi sedikitpun kehormatan dan kemuliaannya. Kesederhanaan yang menjadi pembungkus dari  pikiran cerdas dan gagasan–gagasan besarnya.

Sementara  pernyataan–pernyataan yang diucapkannya selalu bermakna dan banyak menjadi mutiara yang dikenang sepanjang masa.

Kita rindu sosok Bung Hatta, seorang wakil presiden yang hingga akhir masa jabatannya tidak mampu membeli sepatu yang diidamkannya.

Kita rindu sosok Muhammad Natsir, seorang perdana menteri yang mengenakan jas dengan tambalan di sana sini pada acara resmi yang dihadirinya.

Bagi para pemimpin itu sebuah pepatah kuno berbahasa Belanda menjadi pegangannya, leiden is lijden (memimpin adalah menderita). Sebuah sikap yang hari ini sungguh sulit kita temui pada sosok para pemimpin negeri ini.

Di mana kedudukan dan jabatan justru dipandang sebagai akses untuk berkuasa dan mengambil keuntungan atas berbagai sumberdaya yang diamanahkan pada dirinya.

Kepemimpinan tidak dimaknai sebagai jalan pengorbanan, tetapi menjadi kedudukan yang meniscayakan adanya reward kesejahteraan.

Jika semangat pengorbanan, kebersamaan dalam persatuan, dan sikap–sikap kenegarawanan yang menjadi contoh teladan semakin sulit kita dapatkan, masih mampukah kita serap terjemah Peringatan Hari Sumpah Pemuda?***

Editor: Dani Prawira

Tags

Terkini

Terpopuler