Raden Mas Kuntalan, Legenda Pangeran yang Ditelan Buaya Putih

- 18 Oktober 2021, 06:49 WIB
 Ilustrasi Legenda Raden Mas Kuntalan
Ilustrasi Legenda Raden Mas Kuntalan /Azima Hamada/KLIKMATARAM/Azima

KLIKMATARAM – Legenda Raden Mas Kuntalan dari Muara Labuaji, pangeran yang ditelan buaya putih saat bayi. Bermula dari kisah Raden Mas Panji Tilar Nagara, pangeran dari Selaparang yang diusir saat masih muda.

Ayahnya adalah Prabu Panji Anom, raja ketiga dari keturunan kerajaan Mumbul setelah Samalas (Rinjani) tenang dari letusan besarnya. Kemudian nantinya menjadi kerajaan Selaparang yang dipelopori oleh ayahnya, Indrajaya.

Mas Panji Tilar Nagara dinobatkan menjadi putra mahkota ketika berusia 9 tahun. Namun pada waktu itu, Kerajaan Selaparang dalam keadaan tidak stabil. Itu disebabkan perhatian lebih ayahnya, Prabu Panji Anom kepada salah seorang istrinya yang lebih muda. Terbengkalailah perhatiannya terhadap masyarakat dan keluarganya yang lain.

“Karena itu, Raden Mas Panji Tilar Nagara menjadi geram. Tumbuh kebencian kepada ibu tirinya itu,” ungkap Lalu Malik Hidayat, Budayawan Sasak dan juga pengurus Rumah Budaya Sanggar Gedeng Kedaton, Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 15 Oktober 2021 di Rumah Budaya Sanggar Gedeng Kedaton.

Kemarahan putra mahkota itu memuncak pada suatu ketika dia sedang duduk membersihkan keris pusaka. Tepat di belakangnya berjalanlah istri raja yang paling muda. Hal itu membuatnya marah, kemudian keluarlah umpatan yang tidak pantas dari mulut putra mahkota itu.

“Dalam aturan adat moral orang Sasak, sangat dilarang seorang berjalan di belakang orang yang sedang duduk. Maka, mengumpatlah Raden Mas Panji Tilar Nagara sambil mengacungkan keris pusakanya ke istri raja yang paling muda. Kemudian hal itu membuat istri raja jatuh sakit, dan pada akhirnya meninggal dunia,” papar Mamik Hidayat panggilan akrab Lalu Malik Hidayat.

Di mata raja, kejadian itu dianggap sebagai tindak pembunuhan, walaupun sebagian besar petinggi kerajaan lainnya menganggap itu sebuah kecelakaan.

Siapapun yang melakukan kejahatan besar, harus dihukum dengan seberat-beratnya. Begitulah sang raja, Mas Panji Anom, berucap kepada Patih Mangku Bumi dan Panglima Roah Sejagat saat mereka ditugaskan untuk menghukum mati anaknya itu.

Dari manuskrip di Makassar (kronik Goa dan Tallo)--karena kerajaan Selaparang, termasuk dari kisah Mas Panji Anom, punya ikatan kerja sama, bahkan keluarga, dengan kerajaan di Makassar--Raden Mas Panji Nagara diberangkatkan ke Kesultanan Alas.

Halaman:

Editor: Dani Prawira


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah